Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh Maulana Qori Bangko

Senin, 31 Januari 2011

Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana STAI SMQ Bangko



MEMBANGUN TRADISI ILMIAH DI PERGURUAN TINGGI
Oleh : Dr. H. Mastuki HS
(Kasubdit Akademik dan Kemahasiswaan, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam,
Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI)

Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda Sarjana S-1 STAI Syekh Maulana Qori (SMQ) Bangko, Jambi Tanggal 25 Desember 2010


Saya mulai Orasi Ilmiah ini dengan mengutip pernyataan Prof. Dr. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI, bahwa “Perguruan Tinggi telah gagal melahirkan kecendekiawanan”. Statemen Prof. Mahfud MD ini disampaikan di salah satu unviersitas Islam tertua di Indonesia, yaitu Universitas Islam Indonesia (UII), 17 Oktober 2010 lalu. Meskipun tidak secara langsung mengatakan bahwa UII gagal melahirkan kecendekiawanan, pernyataan Prof. Mahfud MD di universitas yang menjadi cikal bakal dari perguruan tinggi agama Islam di Indonesia ini menjadi warning yang perlu menjadi perhatian serius dari kalangan perguruan tinggi.
Sebagaimana dimaklumi, perguruan tinggi adalah institusi akademik dan institusi ilmiah yang salah satu tugasnya adalah mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Sebagai institusi akademik, perguruan tinggi mengembangkan satu atau berbagai disiplin ilmu dengan visi dan misi tertentu baik untuk program strata satu (S1), strata 2 (S2) maupun strata tiga (S3). Adapun sebagai institusi ilmiah, perguruan tinggi membangun warga civitas akademicanya dengan tradisi ilmiah dan atmosfir akademik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Perguruan tinggi, seperti kata aslinya berasal dari bahasa Yunani academos, adalah suatu tempat (bisa berarti ruang/space, lembaga/institution) dimana setiap orang di dalamnya terjamin untuk menerima dan menyampaikan gagasan dan pemikiran, serta sekaligus mengujinya secara jujur dan terbuka. Hanya atas dasar ketersediaan suasana seperti itulah, suatu perguruan tinggi dapat disebut sebagai lembaga akademik. Atas dasar itu, orang-orang yang saling berinteraksi di dalamnya berdasarkan norma, kaidah, nilai, dan aturan-aturan tertentu dinamakan dengan insan akademik atau civitas academica. Adapun sistem etika yang mendasari interaksi dan komunikasi di antara penghuni perguruan tinggi itu disebut dengan etika akademik. Bertolak dari semua itu, maka siapapun yang berada di ‘rumah besar’ bernama perguruan tinggi akan merasakan adanya atmosfir yang menggetarkan; suasana yang sarat dengan nilai (etika), seni (estetika), interaksi dinamis, komunikasi yang jujur dan terbuka, kreativitas dan produktivitas yang tinggi, pencarian tak henti-henti akan kebenaran (discovery), tingkat rasionalitas dan moralitas yang menjadi bingkai prilaku, dan sebagainya. Itulah cerminan suasana akademik yang seharusnya memancar dari perguruan tinggi.
Namun, harus kita sadari bahwa membangun tradisi ilmiah di lembaga akademik (perguruan tinggi) tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kerja-kerja akademik bukanlah aktifitas tanpa rencana, dadakan, sporadis, apalagi bimsalabim. Membangun tradisi ilmiah adalah membangun suatu peradaban di masa depan. Oleh sebab itu butuh waktu lama, kesediaan berkorban, perhatian sungguh-sungguh, komitmen kuat, istiqomah, berorientasi ke depan, dan lillahi ta’ala.
Tradisi kecendekiawanan memang tidak identik dengan tradisi akademik. Sebutan cendekiawan tidak selalu dikaitkan dengan orang atau kelompok orang yang berhasil melewati pendidikan tinggi dan bergelar sarjana. Mereka juga bukan sekedar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya menuju lebih baik. Namun begitu, perguruan tinggi dapat menjadi wadah potensial untuk melahirkan kecendekiawanan.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, cendekiawan diartikan orang yang cendekia; intelektual; dan inteligensia. Cendekia berarti arif, bijak, cerdas, tinggi inteligensinya. Intelektual dan inteligensia berarti orang terpelajar (well educated), cerdik pandai, dan bijak. Dengan demikian cendekiawan merupakan individu yang memiliki atribut-atribut kebajikan, kebijakan, wawasan luas tentang nilai, komitmen terhadap persoalan-persoalan manusia dan masyarakat serta dibuktikan dengan tindakannya yang konkret. Jika dikaitkan dengan identitas keislaman, seperti pendapat Prof. Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim adalah seseorang dengan ciri-ciri: suka melakukan aktivitas pikir dan zikir, mengamati kejadian alam semesta untuk menemukan yang haq dan fungsinya bagi kehidupan manusia serta suka mempelajari sejarah dan gejala-gejala sosial sehingga menumbuhkan tanggung jawab sosialnya yang dimanifestasikan dalam sikap, perbuatan dan tindakannya. Sifat kecendekiaan adalah melayani, bukan dilayani; memberi bukan meminta; bekerja dengan nurani, tidak semata mencari materi; beramal shalih (kerja secara professional) bukan kerja untuk kerja. Singkat kata, cendekiawan adalah kualitas keperibadian seseorang, yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan beberapa istilah: ulul albab, ulun nuha, dan ulama’.
Kita tentu merasa prihatin dengan fenomena dan kasus yang masih kerap terjadi di perguruan tinggi, misalnya sikap pragmatisme (dalam arti yang sangat negatif) civitas akademika perguruan tinggi. Contoh yang paling mencolok adalah kasus plagiasi yang dilakukan oleh dosen atau orang yang bergelar doktor untuk meraih jenjang professor. Di kalangan mahasiswa, sikap pragmatis ditandai dengan prilaku asal jadi, mengerjakan tugas asal-asalan yang penting lulus, mengcopy-paste makalah/artikel di internet tanpa merasa bersalah, atau sistem kebut semalam (yang diplesetkan dari SKS). Pragmatisme juga penyakit yang menjangkiti beberapa perguruan tinggi yang menjual ijazah, menawarkan gelar tanpa kuliah bagi mahasiswa, atau praktik-praktik lain yang tidak bertanggungjawab (public un-accountability). Rupanya kemajuan teknologi yang ditandai dengan kemudahan-kemudahan dalam informasi, interaksi dan komunikasi tidak dibarengi dengan mindset kemajuan dan perubahan yang dibawa oleh teknologi itu sendiri. Inilah salah satu ironi kemajuan teknologi yang diingatkan oleh para pakar bakal terjadi pada masyarakat yang belum siap menerima teknologi.
Jika kondisi demikian terjadi di perguruan tinggi yang notabene merupakan literate society (masyarakat yang melek dan sadar akan kemajuan), saya sangat yakin bahwa perguruan tinggi pasti gagal melahirkan cendekiawan. Alih-alih melahirkan cendekiawan, yang terjadi justru akan melahirkan generasi yang kehilangan orientasi masa depan (disorientasi), split of personality, atau generasi pecundang.

Darimana Membangun Tradisi Ilmiah?
Anis Matta dalam bukunya “Delapan Mata Air Kecemerlangan” menyebut 17 ciri tradisi ilmiah yang menonjol dan menjadi ciri suatu masyarakat atau bangsa.
Pertama, berbicara atau bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan.
Kedua, tidak bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap sesuatu sebelum mengetahuinya dengan baik dan akurat.
Ketiga, selalu membandingkan pendapatnya dengan pendapat kedua dan ketiga sebelum menyimpulkan atau mengambil keputusan.
Keempat, mendengar lebih banyak daripada berbicara.
Kelima, gemar membaca dan secara sadar menyediakan waktu khusus untuk itu.
Keenam, lebih banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan dalam kesendirian.
Ketujuh, selalu mendekati permasalahan secara komprehensif, integral, objektif, dan proporsional.
Kedelapan, gemar berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wacana dan ide-ide, tapi tidak suka berdebat kusir.
Kesembilan, berorientasi pada kebenaran dalam diskusi,bukan pada kemenangan.
Kesepuluh, berusaha mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu; tidak bersikap emosional dan meledak-ledak.
Kesebelas, berpikir secara sistematis dan berbicara secara teratur.
Keduabelas, tidak pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar.
Ketiga belas, menyenangi hal-hal baru dan menikmati tantangan serta perubahan.
Keempat belas, rendah hati dan bersedia menerima kesalahan
Kelima belas, lapang dada dan toleran dalam perbedaan
Keenam belas, memikirkan ulang gagasannya sendiri atau gagasan orang lain dan senantiasa menguji kebenaran.
Ketujuh belas, selalu melahirkan gagasan-gagasan baru secara produktif.

Bukankah tradisi ilmiah seperti ini yang seharusnya berkembang dan dikembangkan lembaga-lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi? Apa yang terlihat pada ciri-ciri itu adalah nuansa yang kuat tentang kebenaran, keyakinan, kepastian, tetapi juga fleksibilitas, dinamika, pertumbuhan, kemerdekaan, kebebasan, dan produktivitas. Mereka yang hidup dalam komunitas dengan tradisi ilmiah seperti itu akan merasakan kebebasan, kemerdekaan, kemandirian, aktualisasi diri, di samping juga menikmati perbedaan, tantangan, dan segala hal yang baru.
Sayangnya tradisi ilmiah di perguruan tinggi seringkali difahami dan terjebak pada prosedur-prosedur formal yang kurang membebaskan. Penelitian misalnya, salah satu piranti tridharma perguruan tinggi dan menjadi ciri tradisi ilmiah, menjadi rutinitas dosen yang dikaitkan dengan pengumpulan kum (kredit untuk kenaikan pangkat) atau sekedar proyek dan menghabiskan dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) bagi dosen perguruan tinggi negeri. Pembelajaran di kelas menjadi seremonial, hanya untuk menunaikan kewajiban lalu membagi-bagi tugas yang harus dikerjakan mahasiswa. Belajar bagi mahasiswa hanya untuk lulus, mendapatkan nilai baik, atau demi selembar ijazah. Pelayanan akademik kurang menyentuh aspek substansial: penanaman tradisi ilmiah. Hubungan antara dosen dan mahasiswa, mahasiswa dengan karyawan, mahasiswa dengan mahasiswa di kampus menjadi sangat personal, rasional, kontraktual, dan mekanikal. Perdebatan ilmiah, kalaupun terjadi secara sporadis di kelas-kelas atau kelompok-kelompok studi tetapi belum menjadi ruh perguruan tinggi.
Melihat kondisi demikian, lalu darimanakah tradisi ilmiah itu dimulai? Ada yang mengatakan start from the classroom. Mulailah dari kelas. Kedisiplinan dalam berkuliah dan kualitas proses perkuliahan dianggap prasyarat menghidupkan tradisi ilmiah yang diharapkan. Tradisi ini misalnya dimulai dengan mendisiplinkan mahasiswa dalam menulis tugas harus menjunjung tinggi kaidah dan etika ilmiah, mengaktifkan mereka untuk berdiskusi secara kritis, mengaktifkan mereka merespon isu-isu kekinian kemasyarakatan dan kebangsaan, senantiasa mengaitkan materi kuliah dengan nilai-nilai keislaman, dan lain-lain. Dosennya pun dituntut untuk selalu mengupdate pengetahuan mereka dalam bidang yang digelutinya, di samping menanamkan spirit ilmiah itu melalui pembelajaran yang disampaikan.
Pendapat lain mengatakan bahwa aktivitas-aktivitas ilmiah yang berkembang di perguruan tinggi merepresentasikan gairah tradisi ilmiah yang semakin berkembang. Berapa banyak seminar dan workshop dilaksanakan. Seberapa antusias mahasiswa dan dosen mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah. Berapa kali mengundang pakar untuk berorasi ilmiah dan bagaimana respon civitas akademika terhadap kegiatan tersebut. Apakah setiap fakultas/jurusan/program studi menyelenggarakan studium generale, dan lain-lain. Indikator tradisi ilmiah diukur dari deret ukur aktivitas ilmiah.
Apakah cukup? Karena tradisi ilmiah bukanlah sekedar kebiasaan-kebiasaan ilmiah yang baik, tapi lebih merupakan standar mutu yang menjelaskan kepada kita di peringkat mana suatu komunitas itu berada. Tradisi ilmiah bukanlah gambaran dari suatu kondisi permanen, namun lebih mengacu kepada suatu proses yang dinamis dan berkembang secara berkesinambungan. Jika demikian, tradisi ilmiah mensyaratkan adanya cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan. Apa fungsi dan peran ilmu dalam membentuk kehidupan kita. Seberapa besar kita memberinya ruang dan posisi dalam kehidupan. Tentang sejauh mana kita bersedia mengikuti kaidah-kaidahnya. Tentang berapa banyak harga yang dapat kita bayar untuk memperolehnya. Kata ilmu terulang lebih dari 800 kali dalam Al-Qur’an. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai syarat untuk merebut dunia dan akhirat sekaligus. Man arâda d-dunya fa’alaihi bil ilmi, waman arâda l-âkhirota fa’alaihi bil ilmi waman arâdahumâ fa’alaihi bil ilmi. Itulah sebabnya Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan sama besarnya dengan makan dan minum. Atau, bahkan lebih besar lagi.
Tradisi ilmiah juga dibentuk oleh susunan pengetahuan yang benar. Islam memandang adanya kesatuan pengetahuan (‘ilm) dikarenakan kesatuan ketuhanan (tawhid). Bahwa seluruh ilmu berasal dari Allah, dan karenanya kategorisasi ilmu misalnya kelompok ilmu-ilmu keislaman (Islamic sciences), ilmu-ilmu social dan humaniora (social sciences), dan ilmu-ilmu alam (natural sciences) hanya ada pada klasifikasi, bukan untuk memisah-misahkan. Semua kelompok ilmu itu mempunyai korelasi yaitu struktur, fungsi dan sejarah perkembangan yang berakar pada sebuah paradigma besar, yang kemudian disebut sebagai filsafat lmu. Dalam kaitan dengan susunan pengetahuan itu, tradisi ilmiah yang dibangun berkaitan dengan sifat dan pola pengetahuan kita.
Islam mengakui adanya kemampuan panca indera dan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran, tetapi Islam juga mengingatkan kelemahan panca indera dan akal. Di sisi lain, Islam mengakui adanya pengetahuan yang tidak didapatkan manusia melalui panca indera, tidak melalui perenungan atau eksperimen. Pengetahuan itu diperoleh secara langsung tanpa metode ilmiah, eksperimen, pengamatan dan lain sebagainya. Pengetahuan langsung tersebut adalah wahyu.
“Tatkala mereka masuk (negeri Mesir) sesuai dengan apa yang diperintahkan ayah mereka (supaya masuk terpencar-pencar), tiadalah ia dapat melepaskan sedikitpun dari takdir Allah (karena anaknya tetap ditahan). Akan tetapi itu hanya keinginan Ya’qub yang telah ditetapkan oleh Allah. Sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan karena kami telah mengajarkan kepadanya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Yusuf:68, bandingkan dengan An-Nisa:163)
Pengetahuan yang terserap dengan susunan yang salah akan membuat seseorang mengalami kerancuan dalam berpikir. Ilmu-ilmu yang kita serap tidak saling terkorelasi secara fungsional dengan benar. Seseorang akan gagal memahami Islam dengan benar jika tidak mempelajari ilmu-ilmu Islam dalam susunan yang terangkai secara benar. Ini memperkuat pernyataan bahwa pengetahuan dalam Islam berawal dari sebuah keyakinan atau premis keyakinan. Keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai sumber pengetahuan. Karena Al-Quran sebagai kalam Allah benar adanya (qawluka haqq) maka ilmu pengetahuan yang terkandung dalam al-Qur’an benar adanya (kalâmuka haqq).
Mengacu pada pernyataan itu, seorang ilmuwan yang menjunjung tradisi ilmiah seharusnya menggabungkan antara pengetahuan yang komprehensif, bersifat lintas disiplin, dan generalis dengan penguasaan yang tuntas terhadap satu bidang ilmu sebagai spesialisasinya. Yang pertama mengacu kepada keluasan, sedangkan yang kedua mengacu pada kedalaman. Yang pertama memberinya wawasan makro, yang kedua memberinya penguasaan mikro. Yang pertama memberi efek integralitas, yang kedua memberi efek ketepatan. Dengan begitu seorang ilmuwan senantiasa berbicara dengan isi yang luas dan dalam, integral dan tajam, berbobot dan terasa penuh.
Tradisi ilmiah selanjutnya dibentuk oleh sistematika pembelajaran yang benar. Menjadi ilmuwan adalah menjadi pembelajar sejati. Bahwa waktu amat sangat berguna bagi pembelajar untuk menguasai ilmu terus menerus. Waktu memang tidak cukup untuk membaca semua buku. Tetapi, kita tetap dapat menguasai banyak ilmu melalui sistematika pembelajaran yang benar. Untuk itu, kita memerlukan seorang guru, seorang ulama, yang mengetahui struktur dari setiap ilmu dan cara mempelajarinya.
Akhirnya, membaca adalah instrumen utama tradisi ilmiah. Jika kita ingin mengokohkan tradisi ilmiah, sudah saatnya kita berhenti membaca apa yang kita senangi. Beralihlah untuk membaca apa yang seharusnya kita baca.
Membangun sebuah tradisi ilmiah yang kokoh tentu saja membutuhkan kesungguhan dan keseriusan serta kesabaran yang melelahkan.
***

Bahan Bacaan:
Al-¬Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993).
Al-Faruqi, Ismail R. (1982) Islamization of Knowledge: the Problem, Principles, and the Workplan, Islamabad : National Hijra Centenary Committee of Pakistan.
Anis Matta, Mengokohkan Tradisi Ilmiah, dalam http://www.bit.lipi.go.id/ /index.php
Cohen, H. Floris (1994). The Scientific Revolution: A Historiographical Inquiry, Chicago: The University of Chicago Press.
Harding, Sandar (1998) Is Science Multicultural?: Postcolonialisms, Feminisms, and Epistemologies, Bloomington: Indiana University Press.
http://republika.co.id:8080/berita/
Lenoir, Timothy (1997) Instituting Science: the Cultural Production of Scientific Disciplines, Stanford: Stanford University Press.
Madjid, Nurcholish (1992) Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993)
Restivo, Sal (1988) “Modern Science as a Social Problem,” Social Problems, 35 (3): 206-225.

Senin, 27 September 2010

Kuliah Umum STAI SMQ Bangko 2010

Diberitahukan kepada seluruh Mahasiswa STAI SMQ Bangko, bahwa kuliah Umum Tahun Akademik 2010/2011 dilaksanakan pada:

hari/tanggal : Rabu, 29 September 2010
jam : 08.30 WIB - selesai
Tempat : Kampus STAI SMQ Bangko
Narasumber : Dr. H. Martinis Yamin, M.Pd.
Judul : PENDIDIKAN SEBAGAI PENYANGGA PERADABAN BANGSA

demkikianlah dan terima kasih.

Kuliah Umum STAI SMQ Bangko TA. 2010/2011

PENDIDIKAN SEBAGAI PENYANGGA

PERADABAN BANGSA


Dr. H. Martinis Yamin, M.Pd



 


 


 


 


 

A. Pendahuluan


 

Bangsa Indonesia kini, ibarat sebuah kapal yang sedang berlayar di tengah laut dengan gelombang yang besar dan tidak kunjung mereda. Berbagai permasalahan yang muncul silih berganti, hilang satu tumbuh seribu. Masalah ekonomi yang tidak kunjung bangkit dari keterpurukan, politik adalah beragam taktik untuk memenangkan diri atau sekelompok tanpa memperduli kebutuhan masyarakat secara umum, keamanan yang tidak mampu diberikan kepada masyarakat, di mana-mana perampokan dan pembunuhan. Semuanya dirasakan begitu dilematis dan rumit. Pelaksanaan pemilu yang diikuti oleh banyak partai di satu sisi membuka harapan dan di sisi lain membuka potensi kecemasan, gagalnya penegakan hukum, korupsi merajalela, kolusi dan nepotisme semakin mantap, kualitas pendidikan bangsa semakin terpuruk yang menempati level terendah di tingkat Asia tahun 2009, bahkan dunia urutannya yang 111 dari 177 negara atau berada setingkat di bawah Vietnam, dan masih banyak lagi persoalan berat nasional lainnya. Sementara globalisasi dan perdagangan bebas, AFTA, telah berlangsung dengan berbagai konsekuensinya. Mau tidak mau bangsa Indonesia dituntut siap menyambutnya, kondisi bangsa semakin terpuruk, karena miskinnya sumber daya manusia yang berkualitas, sumberdaya manusia yang tangguh, mandiri, dan berbudi. Inilah kondisi negeri kita sekarang yang menganaskan.


 

Di antara persoalan bangsa tersebut, yang dirasa meruncing adalah menurunnya matabat bangsa. Dengan menurunnya martabat bangsa ini, maka individu-individu dalam bangsa akan mudah tergelincir serta tersihir oleh berbagai pengaruh globalisasi. Jati diri bangsa akan mudah menghilang ditelan oleh gelombang mencuatnya dunia yang dikendalikan oleh sistem kapital. Pertarungan hebat demi memperebutkan kepentingan mondial, akan merengsek terus bagaikan air sungai yang mengalir tanpa henti.


 

Pembangunan ekonomi yang menjadi maskotnya pembangunan orde baru telah terbukti gagal. Korupsi merajalela, dari tingkat atas hingga bawah, semakin menguatkan saja bahwa sistem pemerintah dan pembangunan nasional sangat tidak sesuai dan tepat sasaran, rendah kejujuran masyarakat, kebiasaan buruk sikap menyuap, janji-janji yang kemudian dikhianati, individualisme, kualitas perorangan tidak menjadi indikator pilihan, pemegang jabatan minta dihormati dan tidak mengayomi masyarakat/bawahan, pemegang jabatan menonjol dalam bidang finansial, dan sifat-sifat buruk lainnya. Berbagai tingkah laku pergaulan generasi muda sekarang terlihat bebas, mudah meniru budaya asing, memburu hedonisme, atau memilih jalan pintas demi meraih cita-cita glamoritas, sungguh tampak semakin memprihatinkan. Dengan demikian betapa tragisnya hasil dari proses pembelajaran dan pendidikan di negeri tercinta zaman ini.


 

Mencermati persoalan tersebut di atas setidaknya dibutuhkan kepedulian semua komponen bangsa di dalam penataan dan pengembangan dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang dibangun secara mandiri sebagai bentuk dari civil sociaty, sudah saatnya bangsa bergegas menata dan mengembangkan model edukasinya yang lebih menitik beratkan pada pembangunan peradaban. Kita harus banyak belajar dengan negara-negara lain yang telah maju dalam pendidikan untuk meningkatkan kualitas bangsanya, sehingga ia mampu berdiri sendiri atas kakinya sendiri dan kebijakannya merakyat serta peduli pada rakyat. Persiden Amerika Bill Clinton pada tahun akhir jabatannya (tahun 2001) mencanangkan akta di Amerika "no child left behind" atau tidak ada lagi anak-anak Amerika yang tertinggal dalam pendidikan. Jelas, lugas, dan tegas pemimpin suatu negara lain dalam membangun peradaban bangsanya. Dengan model pendidikan ke arah peradaban, diidealkan nantinya pendidikan mempunyai orientasi input-output yang jelas. Tidak hanya menjadi berkecambahnya lembaga-lembaga pendidikan, atau beragam gelar-gelar akademis, melainkan pendidikan yang peduli pada pembentukan sikap-sikap mental mandiri, siap menghadapi tanggung jawab, tahan banting, berorientasi kreatvitas dan bermoral tinggi. Kemudian dengan visi dan misi pendidikan sebagai penyangga peradaban ke depan, betul-betul memberikan arah pencerahan bangsa ini, sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju.


 

B. Visi dan Misi Peradaban Bangsa


 

Kondisi pendidikan di Indonesia secara kunatitatif mengalami kemajuan. Dengan berbagai usaha pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional sebagai perpanjangan tangan pelaksanaan kebijakan negara, baik pada pada tingkat ide ataupun konsep. UU Sisdiknas, otonomi pendidikan, anggaran alokasi 20% dari APBN, APBD untuk pendidikan, dan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Perdebatan tentang dana pendidikan dari alokasi dana APBN dan APBD yang kemudian membutuhkan penafsiran MK, ternyata dana pendidikan 20% include gaji guru, semula 20% merupakan harapan besar dan kebanggaan dunia pendidikan Indonesia, sekarang hanya kita mampu menggelengkan kepala dan ternayata daerah telah menerapkannya, sebab penggajian menelan biaya besar atau belasan persen. Pendidikan hendaknya ditekankan untuk membangun manusia dan masyarakat Indonesia yang beradab, yang mempunyai identitas, berdasarkan buduya bangsa.


 

Untuk mencapai cita-cita tersebut perlu didasarkan pada Paradigma-Paradigma baru yang bertujuan untuk membentuk suatu masyarakat madani yang demokratis. Pendidikan harus bertolak dari pengembangan manusia Indonesia yang berbudaya dan berperadaban, mardeka, bertaqwa, bermoral dan berakhlak, berpengetahuan dan berketerampilan, inovasi dan kompetitif sehingga dapat berkarya secara profesional dalam kehidupan global.


 

Kejelasan visi sangat diperlukan karena ketiadaan visi menyebabkan kesimpangsiuran dalam upaya bangsa untuk menwujudkan suatu masyarakat Indonesia masa depan. Belajar dari negara lain yang telah lama mempunyai visi yang jelas untuk mengangkatkan harkat dan martabat pendidik dan tenaga pendidik seperti China dalam meciptakan pendidikan yang berkualitas terlebih dahulu memperhatikan kesejahteraan guru dalam berbagai lini Quality insurance; gaji, perumahan, kesehatan, dan lain-lainnya. Ternyata China berhasil dalam programnya dan berhasil menggeserkan negara-negara besar lainnya di dunia. Dalam Sains dan teknologi mereka telah mampu mengembangkan industri hulu dan hilir yang berkualitas, perdagangan produk China telah membanjiri pasaran dunia karena harga murah dan kualitasnya bersaing. Dunia akademisi, perguruan tinggi China sudah berdiri di jajaran depan pendidikan dunia. Prediksi ini sudah ada pada Nabiullah Muhammad SAW , "Tuntutlah Ilmu walaupun ke negeri China." China telah memberikan beberapa beasiswa kepada pelajar Indonesia dan pelajar negara lain untuk menimba ilmu di negerinya.


 

Semua upaya dan semua sektor pembangunan diarahkan kepada visi yang jelas sebagaimana amanat pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Demikian pula batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bangsa Indonesia menginginkan menjadi bangsa yang sejahtera secara keseluruhan bukan kelompok. Selanjutnya, bangsa ini menginginkan terwujudnya suatu masyarakat yang demokratis, yang lebih mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta memberikan perlakuan yang sama pada seluruh bidang-bidang kehidupan, ekonomi, sosial, politik, keamanan, pendidikan, dan lain-lain. Poin demokratis inilah yang secara politis menjadi salah satu dari indikator peradaban bangsa maju.


 

Peran pendidikan, ilmu dan teknologi terhadap peradaban, sebagai berikut;


 

  1. Pendidikan sangat menentukan kecakapan masyarakat di bidang keilmuan dan teknologi.
  2. Ilmu dan teknologi menentukan perubahan sosial dan perkembangan budaya masyarakat.
  3. Perubahan sosial dan perkembangan budaya masyarakat sangat menentukan peradaban suatu bangsa.
  4. Secara tidak langsung pendidikan sangat menentukan peradaban bangsa.


 

Umat manusia sekarang sudah memasuki abad 21 yaitu suatu abad yang berangkali tepat kalau disebut abad ilmu dan teknologi. Sebab umat manusia sepanjang yang dikenal oleh sejarah belum pernah mengalami perkembangan teknologi sepesat sekarang. Sesudah PD II, pengetahuan berkembang biak berlipat ganda dan tidak pernah terimpikan sebelum itu. Penyelidikan dan pembaharuan di lembaga, begitu juga orang-orang yang bekerja dalam bidang sains dan teknologi semakin bertambah.


 

Kemajuan dalam sains dan teknologi sangat mengagumkan, tetapi di samping itu juga mengkawatirkan dan mencemaskan karena bisa merampas kebahagian umat manusia. Teknologi adalah alat yang dipergunakan seseorang untuk kebaikan atau sesuatu yang bermanfaat dan juga dapat membunuh diri. Fakta lain yang muncul bersama dengan perkembangan teknologi yang pesat ini adalah semakin melebarnya jurang perbedaan antara segelintir kecil negara-negara kaya dan dua pertiga umat manusia yang masih berjuang untuk mengisi perut. Salah satu di antara sebab-sebab jurang perbedaan ini adalah pertambahan penduduk yang tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang seimbang, sehingga semua usaha untuk memperkecil jurang perbedaan antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin tidak pernah berhasil. Sehingga tepatlah bait lagu Rhoma Irama "yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin".


 

Apakah yang berlaku di bidang ekonomi juga berlaku di bidang pendidikan. Orang juga dapat berkata "yang pintar bertambah pintar dan yang bodoh tambah bodoh". Sekalipun selalu dilontarkan bahwa ilmu adalah milik bersama umat manusia, begitu dicetuskan dan keluar dari kepala sang ahli sains, maka ia menjadi miliki semua orang, artinya dari potensial. Tetapi praktik hanya segelintir bangsa saja yang berhasil menikmatinya.


 

C. Islam: Sumber Peradaban


 

Al-Qur'an menghadirkan tema-tema peradaban yang tidak dalam satu bentuk atau skala tertentu saja, juga tidak mengemasnya dalam pembahasan tunggal dan monoton. Tema peradaban itu dihadirkan sebagai sebuah visi global; sebuah landscape konseptual di atas nama satuan-satuan konsep lainnya atau sub-ordinat, konsep itu diletak secara proporsional. Pada dimensi ini kita bertemu dengan pembahasan-pembahasan tentang hakekat atau tujuan penciptaan manusia, makna kehidupan, posisi alam-khususnya bumi dalam konstelasi kehidupan manusia serta signifikansi agama dalam menata hubungan-hubungan interaktif ketiga anasir tersebut. Misalnya ayat-ayat berikut:


 

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu; orang yang akam membuat kerusakan padanya dan menumpah darah padahal kami selalu bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: " Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". "Dan jika ia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya kemudian mengemukakan kepada para malaikat. "Sebutkanlah kepadaKU nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar".

"Mereka menjawab "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana."

"Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama benda-benda ini." Maka setelah diberitahukan kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan."

"dan (ingatlah ketika) kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam, ""Maka sujudlah mereka semua kecuali Iblis: Ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang kafir."

"dan kami berfirman: Hai Adam, diamlah oleh kamu dan isteri kamu di surga ini, dan makanlah makanan-makanan yang banyak lagi baik di mana saja kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang dzalim."

"Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan kami berfirman: "Tuhan kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain dan bagi kamu ada tempat keiaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."

"Kemudian menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyanyang." (Qs al-Baqarah: 31-37)


 

Ayat-ayat di atas secara lugas dan sederhana merekonstruksikan bangunan peradaban; ada manusia yang berperan sebagai khalifah, ada khalifah sebagai tujuan fungsional penciptaan manusia, ada bumi sebagai dimensi ruang persemian peradaban, ada pembuktian keunggulan kompetitif manusia atas melaikat yang membuatnya memiliki kualifikasi untuk menjalankan fungsi itu. Selanjutnya ada konflik antara manusia dengan iblis, lalu ada kejatuhan sementara yang disertai dengan peralihan medan konflik ke bumi, lalu ada proses "penerimaan kalimat" dari Allah sebagai petunjuk penataan peradaban dan akhirnya ada dimensi waktu sebagai batasan masa kerja.


 

D. Peradaban Islam dan Pendidikan


 

Agama Islam memberikan pandangan dunia, gagasan pengertian untuk kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. Pada masa Khulafau al-Rasyidin maupun pada masa Umayyah serta masa Abasiyyah, dasar ideologi masyarakat maupun negara adalah Islam. Legitimasi dan otoritas penguasa hukum yang diakui secara resmi dalam negara, begitupun lembaga-lembaga peradilan, pendidikan dan sosial adalah berakar pada nilai-nilai Islam (Syari'ah). Sekalipun realita sejarah dan politik dari kehidupan Khalifah sering menghadapi keganjilan-keganjilan ditilik dari idea Islam, akan tetapi prinsip yang primer dari identitas politik maupun hubungan sosial tetap punya kaitan dengan syari'at (nilai-nilai Islam), baik komitmen umum maupun komitmen biasa. Idea Islam tetap sempurna, bagi seorang Mukmin watak Islam dalam sejarah Muslim dan kehidupan politik tidak rusak oleh perbedaan sejarah. Generasi Muslim yang belakangan, mewarisi pemahaman yang romantik dan idealistik mengenai watak sejarah politik Islam dan begitupun sejarah hukum Islam mengikuti apa yang dikembangkan oleh para ulama sebelumnya, disalurkan dan mempengaruhi karya-karya mereka, lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran keagamaan. Idea tersebut, sekalipun mengaburkan kebanyakan realitas sejarah Islam, memberi pola Islam yang mengilhami generasi-generasi berikutnya sejak dari gerakan membangkitkan semangat agama kembali pada masa sebelum Zaman Baru sampai kepada aktivitas-aktivitas politik Islam dewasa ini, yang berkeinginan mengejar keterbelakangan dan merealisir perpaduan politik dan agama sepanjang ajaran Islam.


 

Penyebaran nilai-nilai agama Islam dan perluasan pemahamannya menjadi hal yang pokok dalam peradaban Islam. Salah satu jalan yang bisa digunakan adalah melalui pendidikan. Pendidikan menjadi usaha yang dilakukan secara sadar dalam penciptaan masyarakat yang beradab berdasarkan kepada nilai-nilai agama. Sarana ini menjadi alat rakayasa yang menentukan maju mundurnya kehidupan masyarakat di masa mendatang karena kemampuannya mendorong individu dan masyarakat dalam peningkatan kualitas si segala aspek kehidupan.


 

Institusi pendidikan dalam Islam, telah sama tuanya dengan kemunculan agama ini sendiri. Pada awal pelembagaan, pendidikan formal yang sistematis belum terlaksana. Awalnya, agama Islam hanya diajarkan di rumah al-Arqam. Kemudian berkembang ke masjid di mana Rasul berkhutbah dengan menyampaikan mata pelajaran tentang wahyu dengan membentuk sistem khalaqah. Bahkan dari masjid ke masjid ini muncul dai-dai yang mengajar ajaran agama di belahan bumi bangsa Arab. Untuk mengajarkan baca tulis al-Qur'an dan dasar agama bagi anak, maka mereka ditempatkan pada tempat khusus yang dinamakan al-Kuttab. Hal ini berkaitan dengan ketenangan ibadah serta kebersihan masjid. Saat ruang masjid dipenuhi oleh banyak orang yang mendalami ajaran Islam. Maka dibangun ruang-ruang belajar di luar masjid seperti Ribath dan Zawiyah.


 

Pada abad 5 H/11 M, berdiri Madrasah Nidhamiyah yang didirikan oleh Nidhamul Mulk, Wazir Bani Saljuq (Turki). Timbulnya madrasah-madrasah di dunia Islam pada dasarnya merupakan pengembangan dan penyempurnaan terhadap Ribath dan Zawiyah yang berada di sekitar masjid. Walaupun madrasah di Nisyapur (Iran) lebih awal berdiri, namun belum dikenal.


 

E. Penutup


 

Pendidikan bertujuan membangun manusia dan masyarakat Indonesia yang beradab, yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya bangsa. Untuk mencapai cita-cita tersebut maka perlu didasarkan pada Paradigma-paradigma baru yang bertujuan untuk membentuk suatu masyarakat madani yang demokratis. Pendidikan harus bertitik tolak dari pengembangan manusia Indonesia yang berbudaya dan berperadaban, merdeka, bertaqwa, bermoral dan berakhlak, berpengetahuan dan berketerampilan, inovatif dan kompetitif sehingga dapat bekerya secara profesional dalam kehidupan global.


 

Wassalamualaikum Wr Wb.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DAFTAR BACAAN


 

Al-Qur'an dan Terjemahannya.


 

Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1979).


 

Azymardi Azra, Jaringan Ulama, (Jakarta; Mizan, 1995).


 

Hasan Langgulung, Azas-azas Pendidikan Islam, Jakarta; Pustaka al-Husna, 1987.


 

--------------, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta; Pustaka al-Husna, 1985.


 

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/04/02410070/.wajah.muram.mdgs.di.indonesia.


 

HAR Tilaar. Pendidikan dan Kekuasaan, Suatu Tinjauan dari Persfektif Studi Kultural, Magelang Indonesia, 2003.


 

H. Soekarno, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung; Angkasa 1987.


 

Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; Hidayakarya, 1989.


 

John Esposito, Islam dan Politik, Jakarta; Bulan Bintang, 1990.


 

UUD 1945 Amandemen ke 1 s.d ke 4, Jakarta, Penerbit Fokusmedia, 2004.


 


 

Jumat, 07 Mei 2010

Penerimaan Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2010/2011

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH MAULANA QORI BANGKO

STATUS TERAKREDITASI
Nomor : 001/BAN-PT/Ak-XI/IV/2008
Nomor : 006/BAN-PT/Ak-XI/SI/IV/2008

Alamat :
Jln. Prof. M. Yamin, SH Kelurahan Pasar Atas Bangko
Bangko – Merangin Kode Pos 37312. Fax. 0746-322051


MENERIMA MAHASISWA BARU


A. PENDAHULUAN

Keberadaan Perguruan Tinggi Agama Islam (STAI) Syekh Maulana Qori Bangko di Kabupaten Kabupaten Sarolangun Bangko yang (sekarang Kabupaten Merangin), tidak terlepas dari pesatnya pertumbuhan dan perkembangan bidang pendidikan persoalan riil yang ada dan berkembang dimasa itu khususnya pendidikan setingkat SLTA baik umum maupun agama. Kabupaten Sarolangun Bangko (sekarang Merangin) pada awalnya baru memiliki satu perguruan tinggi STKIP yang membuka jurusan umum. Keberadaan satu perguruan tinggi ini tentu belum dapat menampung semua lulusan dan aspirasi masyarakat, terlebih yang ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi Agama.

Kenyataan tersebut, melahirkan ide untuk mendirikan perguruan tinggi agama yang diprakarsai oleh pendiri sekaligus Ketua Yayasan Pendidikan Islam Syekh Maulana Qari Bangko (KH. A. Satar Saleh) dengan didukung oleh para ulama, tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Sarolangun Bangko. Oleh karena itu dikeluarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko No. 130 tahun 1993 tanggal 26 April 1993, yang isinya bahwa di Kabupaten Sarolangun Bangko perlu didirikan sebuah perguruan tinggi agama. Perguruan Tinggi Agama yang diberi nama Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STISY) dengan izin operasional pada Kopertais Wilayah VI Sumbar, selanjutnya setelah melalui proses studi kelayakan maka Kopertais Wilayah VI Memberikan izin STISY untuk beroperasi, beberapa bulan setelah itu kerjasama dengan Pemerintah STISY yang awalnya dibawah binaan Kopertais Wilayah VI Sumbar dipindahkan ke Kopertais Wilayah VII Sumbagsel di Palembang

Pada tahun 1994 STISY awalnya berstatus Izin Operasional ditingkatkan status menjadi status terdaftar dengan dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor : 94 Tahun 1994 tanggal 18 April 1994.

Dalam aktivitas Akademik, Pimpinan Sekoalah Tinggi Ilmu Syari’ah terus berbenah untuk mengembangkan diri dengan membuka jurusan baru, yaitu Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), setelah memiliki 2 jurusan Syari’ah mengalami perubahan nama menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dengan dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor : 170 tahun 1996 tentang perubahan nama.
Pada tahun 2001 Pengurusan STAI SMQ Bangko membuka Program D.II Guru Agama dan pada tahun 2004 upaya pengembangan juga membuahkan hasil yaitu dengan telah dipercayai membuka Program D.II Guru Kelas dan D.II Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak Islam.

Dengan kemajuan yang telah dicapai status terdaftar Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syekh Maulana Qori Bangko memiliki Status Akreditas berdasarkan Surat Keputusan Badan Akreditas Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan RI Nomor : 046/BAN-PT/Ak-VIII/S.1/XI/2004 tanggal 8 Nopember 2004.



VISI
Terwujudnya peningkatan kualitas Sarjana Agama Muslim, berpengetahuan, berwawasan luas, berkemampuan tinggi dan memiliki Intekgritas Moral.



MISI

 Meningkatkan kualitas Ilmu Pengetahuan dan wawasan sarjana Muslim
 meningkatkan wawasan dan Propesionalisme Sarjana Muslim
 Meningkatkan kepedulian Sosial Sarjana Muslim.
 Menciptakan Link and macth dan kemampuan kelembagaan
 Menyiapkan Sarana pendukung kegiatan pembelajaran yang kondusif.
 Menyiapkan peserta didik menjadi sarjana muslimyang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan memperkayakan khazanah keislaman.
 Mengembangkan dan memperluas ilmu-ilmu keislaman serta mengupayakan penggunaan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan meperkayakan kebudayaan nasional.



JURUSAN SYARI’AH

VISI
Unggul dan terkemuka dalam pengembangan ilmu syari’ah/hukum secara integratif-interkonektif dan kemajuan peradaban.


MISI
 Mengembangkan pendidikan dan pengajaran ilmu syari’ah yang berwawasan ke-Indonesiaan dan kemanusiaan
 Mengembangkan budaya ijtihad dalam penelitian ilmu syari’ah yang multi disipliner dan integratif-interkonektif yang bermanfaat bagi kepentingan akademik syari’at.
 Meningkatkan peran serta Fakultas Syari’ah dalam pemberdayaan masyarakat melalui penerapan ilmu syari’ah bagi terwujudnya masyarakat madani
 Mengembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi terutama dalam bidang syari’ah.



TUJUAN
 Menghasilkan sarjana syari’ah yang memiliki kemampuan akademis dan profesional yang integratif-interkonektif
 Menghasilkan sarjan syari’ah yang beriman, berakhlak mulia, memiliki kecakapan sosial dan manajerial dan berjiwa kewirausahaan (enterpreneurship) serta rasa tanggung jawab sosial.
 Menghasilkan sarjana syari’ah yang menghargai nilai-nilai keilmuan dan kemanusiaan
 Menjadikan fakultas syari’ah sebagai pusat studi yang unggul dalam kajian dan penelitian ilmu syari’ah yang integratif dan interkonektif.
 Terbangunnya jaringan yang kokoh dan fungsional antar alumni.


PROSFEK
Alumni Jurusan Syari’ah dapat memilih profesi sebagaiHakim, Panitera, Advokat, Penghulu, Administrator Publik, Konsultan Hukum, Praktisi dan Politisi , Penelitian Hukum dan LSM, Penyuluh Hukum, Pegawai Pencatat Nikah, dab Kewirausahaan.

JURUSAN TARBIYAH

VISI
Unggul dan terkemuka dalam pengembangan ilmu terbiyah/pendidikan secara integratif/interkonektif dan kemajuan peradaban.


MISI
 Menciptakan penyelenggaraan pendidikan yang kondusif dalam membuka integritas spiritual, emosional, intelektual yang selaras dengan ruh dan semangat pendidikan agma Islam.
 Meningkatkan kualitas keilmuan pendidikan agama Islam secara komprehensif dan mendalam, melalui,melalui aktivitas kependidikan dan pembelajaran sebagai implementasi tri darma perguruan tinggi.
 Membentuk profil lulusan yang mengusai kompetensi keilmuan dan keterampilan dibidang pendidikan agama Islam secara profesional.

TUJUAN
 Menghasilkan sarjana Tarbiyah yang memiliki kemampuan akademis dan profesional yang integratif-interkonektif.
 Menghasilkan sarjan Tarbiah yang beriman, berakhlak mulia, memiliki kecakapan sosial dan manajerial dan berjiwa kewirausahaan (enterpreneuship) serta tanggung jawab sosial.
 Menghasilkan sarjan Tarbiah yang menghadapi nilai-nilai keilmuan dan kemanusiaan.
 Menjadi fakultas Tarbiyah sebagai pusat studi yang unggul dalam kajian dan penelitian ilmu tarbiyah yang integratif-interkonektif.
 Menghasilkan sarjana Tarbiyah yang mampu mengajarkan agama Islam, mengelola administrasi sekolah, melakukan pengawasan, mendesain kurikulum, mendesain evaluasi, mendesain program bimbingan dan konseling, mengelola pusat sumber belajar dan akademis di bidang keguruan dan keagamaan.


BEBAN STUDI
Jumlah beban studi untuk semua program sarjana adalah 150-160 SKS dengan masa kuliah 8 semester/4 tahun.


TENAGA PENGAJAR
Tenaga pengajar berasal dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia dan Luar Negeri Yaitu
1. Guru Besar : 2 Orang
2. S. 3 : 8 Orang
3. S. 2 : 57 Orang
4. S. I : 23 Orang


BEASISWA
Beasiswa diberikan kepada mahasiswa yang memiliki prestasi. Beasiswa tersebut berupa :
1.Bebas biaya SPP
2.Bebas biaya DPP

Beasiswa bebas SPP kepada calon mahasiswa/i yang hafal al-Qur’an minimal 5 Juz dan bebas biaya pendaftaran masuk kepada calon mahasiswa/i yang memperoleh reking 10 besar di sekolah masing-masing.


MASA PENERIMAAN
Penerimaan mahasiswa baru akademik 2009/2010 dijadwalkan sebagai berikut :

Pendaftaran Mahasiswa Baru: 1 Juni – Juli 2010
TES Masuk: 18, 19 Juli 2010
Pengumaman Hasil Tes: 25 Juli 2010
Registrasi Mahasiswa Baru: 25 Juli 15 Agus 2010
KAMPUS STAI SMQ BANGKO





MATERI UJIAN
1. Pengetahuan Umum : 08.00 s/d 09. 30
2. Pengetahuan Agama : 10.00 s/d 11.30
3. Wawancara : 08.00 s/d Selesai


SYARAT PENDAFTARAN
1. Photo Copy Ijazah terakhir SLTA/MA Sederajat yang sudah di Legalisir 3 Lembar
2. Map Tulang (Merah Syari’ah/Hijau Tarbiyah) dan Maf Gantung (Hijau) masing-masing 3 Lembar
3. Pas photo Hitam putih 2 x 3, 3 x 4, dan 4 x 6 3 Lembar

4. Uang Pendaftaran Rp. 250.000
5. Mengisi Formulir Pendaftaran


PERSYARATAN KEUANGAN
1. Sumbangan Pembiyaan Pendidikan (SPP)/ Semester Rp. 700.000,-
2. Dana Pembangunan Pendidikan (DPP):
a. Uang Pembangunan Rp. 500.000,-
b. Uang Pembinaan Rp. 50.000,-
c. Iuran BEM/UKM Rp. 50.000,-
d. Baju Almamater Rp. 150.000,-
e. Kartu Mahasiswa Rp. 20.000,-
f. Buku Panduan Akademik Rp. 35.000,-
g. Buku Jurnal Rp. 50.000,-
h. Perpustakaan Rp. 25.000,-
i. Nimko Rp. 20.000,-
Jumlah Rp. 1.600.000,-


Bangko, 1 Mei 2010
Ketua

ttd

Drs. Sibawaihi, SH