Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh Maulana Qori Bangko

Senin, 31 Januari 2011

Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana STAI SMQ Bangko



MEMBANGUN TRADISI ILMIAH DI PERGURUAN TINGGI
Oleh : Dr. H. Mastuki HS
(Kasubdit Akademik dan Kemahasiswaan, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam,
Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI)

Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda Sarjana S-1 STAI Syekh Maulana Qori (SMQ) Bangko, Jambi Tanggal 25 Desember 2010


Saya mulai Orasi Ilmiah ini dengan mengutip pernyataan Prof. Dr. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI, bahwa “Perguruan Tinggi telah gagal melahirkan kecendekiawanan”. Statemen Prof. Mahfud MD ini disampaikan di salah satu unviersitas Islam tertua di Indonesia, yaitu Universitas Islam Indonesia (UII), 17 Oktober 2010 lalu. Meskipun tidak secara langsung mengatakan bahwa UII gagal melahirkan kecendekiawanan, pernyataan Prof. Mahfud MD di universitas yang menjadi cikal bakal dari perguruan tinggi agama Islam di Indonesia ini menjadi warning yang perlu menjadi perhatian serius dari kalangan perguruan tinggi.
Sebagaimana dimaklumi, perguruan tinggi adalah institusi akademik dan institusi ilmiah yang salah satu tugasnya adalah mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Sebagai institusi akademik, perguruan tinggi mengembangkan satu atau berbagai disiplin ilmu dengan visi dan misi tertentu baik untuk program strata satu (S1), strata 2 (S2) maupun strata tiga (S3). Adapun sebagai institusi ilmiah, perguruan tinggi membangun warga civitas akademicanya dengan tradisi ilmiah dan atmosfir akademik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Perguruan tinggi, seperti kata aslinya berasal dari bahasa Yunani academos, adalah suatu tempat (bisa berarti ruang/space, lembaga/institution) dimana setiap orang di dalamnya terjamin untuk menerima dan menyampaikan gagasan dan pemikiran, serta sekaligus mengujinya secara jujur dan terbuka. Hanya atas dasar ketersediaan suasana seperti itulah, suatu perguruan tinggi dapat disebut sebagai lembaga akademik. Atas dasar itu, orang-orang yang saling berinteraksi di dalamnya berdasarkan norma, kaidah, nilai, dan aturan-aturan tertentu dinamakan dengan insan akademik atau civitas academica. Adapun sistem etika yang mendasari interaksi dan komunikasi di antara penghuni perguruan tinggi itu disebut dengan etika akademik. Bertolak dari semua itu, maka siapapun yang berada di ‘rumah besar’ bernama perguruan tinggi akan merasakan adanya atmosfir yang menggetarkan; suasana yang sarat dengan nilai (etika), seni (estetika), interaksi dinamis, komunikasi yang jujur dan terbuka, kreativitas dan produktivitas yang tinggi, pencarian tak henti-henti akan kebenaran (discovery), tingkat rasionalitas dan moralitas yang menjadi bingkai prilaku, dan sebagainya. Itulah cerminan suasana akademik yang seharusnya memancar dari perguruan tinggi.
Namun, harus kita sadari bahwa membangun tradisi ilmiah di lembaga akademik (perguruan tinggi) tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kerja-kerja akademik bukanlah aktifitas tanpa rencana, dadakan, sporadis, apalagi bimsalabim. Membangun tradisi ilmiah adalah membangun suatu peradaban di masa depan. Oleh sebab itu butuh waktu lama, kesediaan berkorban, perhatian sungguh-sungguh, komitmen kuat, istiqomah, berorientasi ke depan, dan lillahi ta’ala.
Tradisi kecendekiawanan memang tidak identik dengan tradisi akademik. Sebutan cendekiawan tidak selalu dikaitkan dengan orang atau kelompok orang yang berhasil melewati pendidikan tinggi dan bergelar sarjana. Mereka juga bukan sekedar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya menuju lebih baik. Namun begitu, perguruan tinggi dapat menjadi wadah potensial untuk melahirkan kecendekiawanan.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, cendekiawan diartikan orang yang cendekia; intelektual; dan inteligensia. Cendekia berarti arif, bijak, cerdas, tinggi inteligensinya. Intelektual dan inteligensia berarti orang terpelajar (well educated), cerdik pandai, dan bijak. Dengan demikian cendekiawan merupakan individu yang memiliki atribut-atribut kebajikan, kebijakan, wawasan luas tentang nilai, komitmen terhadap persoalan-persoalan manusia dan masyarakat serta dibuktikan dengan tindakannya yang konkret. Jika dikaitkan dengan identitas keislaman, seperti pendapat Prof. Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim adalah seseorang dengan ciri-ciri: suka melakukan aktivitas pikir dan zikir, mengamati kejadian alam semesta untuk menemukan yang haq dan fungsinya bagi kehidupan manusia serta suka mempelajari sejarah dan gejala-gejala sosial sehingga menumbuhkan tanggung jawab sosialnya yang dimanifestasikan dalam sikap, perbuatan dan tindakannya. Sifat kecendekiaan adalah melayani, bukan dilayani; memberi bukan meminta; bekerja dengan nurani, tidak semata mencari materi; beramal shalih (kerja secara professional) bukan kerja untuk kerja. Singkat kata, cendekiawan adalah kualitas keperibadian seseorang, yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan beberapa istilah: ulul albab, ulun nuha, dan ulama’.
Kita tentu merasa prihatin dengan fenomena dan kasus yang masih kerap terjadi di perguruan tinggi, misalnya sikap pragmatisme (dalam arti yang sangat negatif) civitas akademika perguruan tinggi. Contoh yang paling mencolok adalah kasus plagiasi yang dilakukan oleh dosen atau orang yang bergelar doktor untuk meraih jenjang professor. Di kalangan mahasiswa, sikap pragmatis ditandai dengan prilaku asal jadi, mengerjakan tugas asal-asalan yang penting lulus, mengcopy-paste makalah/artikel di internet tanpa merasa bersalah, atau sistem kebut semalam (yang diplesetkan dari SKS). Pragmatisme juga penyakit yang menjangkiti beberapa perguruan tinggi yang menjual ijazah, menawarkan gelar tanpa kuliah bagi mahasiswa, atau praktik-praktik lain yang tidak bertanggungjawab (public un-accountability). Rupanya kemajuan teknologi yang ditandai dengan kemudahan-kemudahan dalam informasi, interaksi dan komunikasi tidak dibarengi dengan mindset kemajuan dan perubahan yang dibawa oleh teknologi itu sendiri. Inilah salah satu ironi kemajuan teknologi yang diingatkan oleh para pakar bakal terjadi pada masyarakat yang belum siap menerima teknologi.
Jika kondisi demikian terjadi di perguruan tinggi yang notabene merupakan literate society (masyarakat yang melek dan sadar akan kemajuan), saya sangat yakin bahwa perguruan tinggi pasti gagal melahirkan cendekiawan. Alih-alih melahirkan cendekiawan, yang terjadi justru akan melahirkan generasi yang kehilangan orientasi masa depan (disorientasi), split of personality, atau generasi pecundang.

Darimana Membangun Tradisi Ilmiah?
Anis Matta dalam bukunya “Delapan Mata Air Kecemerlangan” menyebut 17 ciri tradisi ilmiah yang menonjol dan menjadi ciri suatu masyarakat atau bangsa.
Pertama, berbicara atau bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan.
Kedua, tidak bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap sesuatu sebelum mengetahuinya dengan baik dan akurat.
Ketiga, selalu membandingkan pendapatnya dengan pendapat kedua dan ketiga sebelum menyimpulkan atau mengambil keputusan.
Keempat, mendengar lebih banyak daripada berbicara.
Kelima, gemar membaca dan secara sadar menyediakan waktu khusus untuk itu.
Keenam, lebih banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan dalam kesendirian.
Ketujuh, selalu mendekati permasalahan secara komprehensif, integral, objektif, dan proporsional.
Kedelapan, gemar berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wacana dan ide-ide, tapi tidak suka berdebat kusir.
Kesembilan, berorientasi pada kebenaran dalam diskusi,bukan pada kemenangan.
Kesepuluh, berusaha mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu; tidak bersikap emosional dan meledak-ledak.
Kesebelas, berpikir secara sistematis dan berbicara secara teratur.
Keduabelas, tidak pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar.
Ketiga belas, menyenangi hal-hal baru dan menikmati tantangan serta perubahan.
Keempat belas, rendah hati dan bersedia menerima kesalahan
Kelima belas, lapang dada dan toleran dalam perbedaan
Keenam belas, memikirkan ulang gagasannya sendiri atau gagasan orang lain dan senantiasa menguji kebenaran.
Ketujuh belas, selalu melahirkan gagasan-gagasan baru secara produktif.

Bukankah tradisi ilmiah seperti ini yang seharusnya berkembang dan dikembangkan lembaga-lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi? Apa yang terlihat pada ciri-ciri itu adalah nuansa yang kuat tentang kebenaran, keyakinan, kepastian, tetapi juga fleksibilitas, dinamika, pertumbuhan, kemerdekaan, kebebasan, dan produktivitas. Mereka yang hidup dalam komunitas dengan tradisi ilmiah seperti itu akan merasakan kebebasan, kemerdekaan, kemandirian, aktualisasi diri, di samping juga menikmati perbedaan, tantangan, dan segala hal yang baru.
Sayangnya tradisi ilmiah di perguruan tinggi seringkali difahami dan terjebak pada prosedur-prosedur formal yang kurang membebaskan. Penelitian misalnya, salah satu piranti tridharma perguruan tinggi dan menjadi ciri tradisi ilmiah, menjadi rutinitas dosen yang dikaitkan dengan pengumpulan kum (kredit untuk kenaikan pangkat) atau sekedar proyek dan menghabiskan dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) bagi dosen perguruan tinggi negeri. Pembelajaran di kelas menjadi seremonial, hanya untuk menunaikan kewajiban lalu membagi-bagi tugas yang harus dikerjakan mahasiswa. Belajar bagi mahasiswa hanya untuk lulus, mendapatkan nilai baik, atau demi selembar ijazah. Pelayanan akademik kurang menyentuh aspek substansial: penanaman tradisi ilmiah. Hubungan antara dosen dan mahasiswa, mahasiswa dengan karyawan, mahasiswa dengan mahasiswa di kampus menjadi sangat personal, rasional, kontraktual, dan mekanikal. Perdebatan ilmiah, kalaupun terjadi secara sporadis di kelas-kelas atau kelompok-kelompok studi tetapi belum menjadi ruh perguruan tinggi.
Melihat kondisi demikian, lalu darimanakah tradisi ilmiah itu dimulai? Ada yang mengatakan start from the classroom. Mulailah dari kelas. Kedisiplinan dalam berkuliah dan kualitas proses perkuliahan dianggap prasyarat menghidupkan tradisi ilmiah yang diharapkan. Tradisi ini misalnya dimulai dengan mendisiplinkan mahasiswa dalam menulis tugas harus menjunjung tinggi kaidah dan etika ilmiah, mengaktifkan mereka untuk berdiskusi secara kritis, mengaktifkan mereka merespon isu-isu kekinian kemasyarakatan dan kebangsaan, senantiasa mengaitkan materi kuliah dengan nilai-nilai keislaman, dan lain-lain. Dosennya pun dituntut untuk selalu mengupdate pengetahuan mereka dalam bidang yang digelutinya, di samping menanamkan spirit ilmiah itu melalui pembelajaran yang disampaikan.
Pendapat lain mengatakan bahwa aktivitas-aktivitas ilmiah yang berkembang di perguruan tinggi merepresentasikan gairah tradisi ilmiah yang semakin berkembang. Berapa banyak seminar dan workshop dilaksanakan. Seberapa antusias mahasiswa dan dosen mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah. Berapa kali mengundang pakar untuk berorasi ilmiah dan bagaimana respon civitas akademika terhadap kegiatan tersebut. Apakah setiap fakultas/jurusan/program studi menyelenggarakan studium generale, dan lain-lain. Indikator tradisi ilmiah diukur dari deret ukur aktivitas ilmiah.
Apakah cukup? Karena tradisi ilmiah bukanlah sekedar kebiasaan-kebiasaan ilmiah yang baik, tapi lebih merupakan standar mutu yang menjelaskan kepada kita di peringkat mana suatu komunitas itu berada. Tradisi ilmiah bukanlah gambaran dari suatu kondisi permanen, namun lebih mengacu kepada suatu proses yang dinamis dan berkembang secara berkesinambungan. Jika demikian, tradisi ilmiah mensyaratkan adanya cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan. Apa fungsi dan peran ilmu dalam membentuk kehidupan kita. Seberapa besar kita memberinya ruang dan posisi dalam kehidupan. Tentang sejauh mana kita bersedia mengikuti kaidah-kaidahnya. Tentang berapa banyak harga yang dapat kita bayar untuk memperolehnya. Kata ilmu terulang lebih dari 800 kali dalam Al-Qur’an. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai syarat untuk merebut dunia dan akhirat sekaligus. Man arâda d-dunya fa’alaihi bil ilmi, waman arâda l-âkhirota fa’alaihi bil ilmi waman arâdahumâ fa’alaihi bil ilmi. Itulah sebabnya Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan sama besarnya dengan makan dan minum. Atau, bahkan lebih besar lagi.
Tradisi ilmiah juga dibentuk oleh susunan pengetahuan yang benar. Islam memandang adanya kesatuan pengetahuan (‘ilm) dikarenakan kesatuan ketuhanan (tawhid). Bahwa seluruh ilmu berasal dari Allah, dan karenanya kategorisasi ilmu misalnya kelompok ilmu-ilmu keislaman (Islamic sciences), ilmu-ilmu social dan humaniora (social sciences), dan ilmu-ilmu alam (natural sciences) hanya ada pada klasifikasi, bukan untuk memisah-misahkan. Semua kelompok ilmu itu mempunyai korelasi yaitu struktur, fungsi dan sejarah perkembangan yang berakar pada sebuah paradigma besar, yang kemudian disebut sebagai filsafat lmu. Dalam kaitan dengan susunan pengetahuan itu, tradisi ilmiah yang dibangun berkaitan dengan sifat dan pola pengetahuan kita.
Islam mengakui adanya kemampuan panca indera dan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran, tetapi Islam juga mengingatkan kelemahan panca indera dan akal. Di sisi lain, Islam mengakui adanya pengetahuan yang tidak didapatkan manusia melalui panca indera, tidak melalui perenungan atau eksperimen. Pengetahuan itu diperoleh secara langsung tanpa metode ilmiah, eksperimen, pengamatan dan lain sebagainya. Pengetahuan langsung tersebut adalah wahyu.
“Tatkala mereka masuk (negeri Mesir) sesuai dengan apa yang diperintahkan ayah mereka (supaya masuk terpencar-pencar), tiadalah ia dapat melepaskan sedikitpun dari takdir Allah (karena anaknya tetap ditahan). Akan tetapi itu hanya keinginan Ya’qub yang telah ditetapkan oleh Allah. Sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan karena kami telah mengajarkan kepadanya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Yusuf:68, bandingkan dengan An-Nisa:163)
Pengetahuan yang terserap dengan susunan yang salah akan membuat seseorang mengalami kerancuan dalam berpikir. Ilmu-ilmu yang kita serap tidak saling terkorelasi secara fungsional dengan benar. Seseorang akan gagal memahami Islam dengan benar jika tidak mempelajari ilmu-ilmu Islam dalam susunan yang terangkai secara benar. Ini memperkuat pernyataan bahwa pengetahuan dalam Islam berawal dari sebuah keyakinan atau premis keyakinan. Keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai sumber pengetahuan. Karena Al-Quran sebagai kalam Allah benar adanya (qawluka haqq) maka ilmu pengetahuan yang terkandung dalam al-Qur’an benar adanya (kalâmuka haqq).
Mengacu pada pernyataan itu, seorang ilmuwan yang menjunjung tradisi ilmiah seharusnya menggabungkan antara pengetahuan yang komprehensif, bersifat lintas disiplin, dan generalis dengan penguasaan yang tuntas terhadap satu bidang ilmu sebagai spesialisasinya. Yang pertama mengacu kepada keluasan, sedangkan yang kedua mengacu pada kedalaman. Yang pertama memberinya wawasan makro, yang kedua memberinya penguasaan mikro. Yang pertama memberi efek integralitas, yang kedua memberi efek ketepatan. Dengan begitu seorang ilmuwan senantiasa berbicara dengan isi yang luas dan dalam, integral dan tajam, berbobot dan terasa penuh.
Tradisi ilmiah selanjutnya dibentuk oleh sistematika pembelajaran yang benar. Menjadi ilmuwan adalah menjadi pembelajar sejati. Bahwa waktu amat sangat berguna bagi pembelajar untuk menguasai ilmu terus menerus. Waktu memang tidak cukup untuk membaca semua buku. Tetapi, kita tetap dapat menguasai banyak ilmu melalui sistematika pembelajaran yang benar. Untuk itu, kita memerlukan seorang guru, seorang ulama, yang mengetahui struktur dari setiap ilmu dan cara mempelajarinya.
Akhirnya, membaca adalah instrumen utama tradisi ilmiah. Jika kita ingin mengokohkan tradisi ilmiah, sudah saatnya kita berhenti membaca apa yang kita senangi. Beralihlah untuk membaca apa yang seharusnya kita baca.
Membangun sebuah tradisi ilmiah yang kokoh tentu saja membutuhkan kesungguhan dan keseriusan serta kesabaran yang melelahkan.
***

Bahan Bacaan:
Al-¬Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993).
Al-Faruqi, Ismail R. (1982) Islamization of Knowledge: the Problem, Principles, and the Workplan, Islamabad : National Hijra Centenary Committee of Pakistan.
Anis Matta, Mengokohkan Tradisi Ilmiah, dalam http://www.bit.lipi.go.id/ /index.php
Cohen, H. Floris (1994). The Scientific Revolution: A Historiographical Inquiry, Chicago: The University of Chicago Press.
Harding, Sandar (1998) Is Science Multicultural?: Postcolonialisms, Feminisms, and Epistemologies, Bloomington: Indiana University Press.
http://republika.co.id:8080/berita/
Lenoir, Timothy (1997) Instituting Science: the Cultural Production of Scientific Disciplines, Stanford: Stanford University Press.
Madjid, Nurcholish (1992) Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993)
Restivo, Sal (1988) “Modern Science as a Social Problem,” Social Problems, 35 (3): 206-225.